PropertiNews.id, Tangerang – Ekonomi di Indonesia stagnan dalam beberapa tahun terakhir. Hal ini pun dibenarkan oleh Kepala BAPPENAS yang menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi stagnan di angka 5-5,1% saja. Ini tentunya berdampak pada banyak industri dalam negeri. Termasuk salah satunya di industri properti.
Sebelum krisis tahun 1998, ekonomi Indonesia bisa tumbuh hingga mencapai angka 7% dan dijuluki sebagai macan Asia. Hal ini terjadi karena industri manufaktur saat itu membantu pertumbuhan ekonomi dengan begitu pesat. Selain itu komoditas migas dan kayu juga turut membantu pertumbuhan ekonomi Indonesia. Namun setelah krisis moneter tersebut, Indonesia beralih dari industri manufaktur ke komoditas yang harganya lebih fluktuatif. Pada saat itu negara seperti Cina memang banyak mengimpor komoditas seperti batu bara dan minyak kelapa sawit dari Indonesia. Sehingga Indonesia merasa komoditas tersebut dapat mencukupi perekonomian Indonesia, dan akhirnya mengabaikan sektor manufaktur.
Sayangnya karena harga yang fluktuatif tersebut, Indonesia akhirnya berada di posisi yang sulit. Bahkan Kepala BAPENNAS mengatakan bahwa jika kondisi manufaktur tak maju, maka pada tahun 2045, Indonesia tak akan bisa menjadi negara maju.
Di awal pemerintahan Presiden Joko Widodo, Indonesia sempat optimis jika perekonomian dapat tumbuh hingga mencapai angka 7%. Hal ini karena pada saat awal pemerintahan Presiden Joko Widodo, keadaan global sangat mendukung pertumbuhan yang terjadi di dalam negeri. Hal ini kemudian terbukti dengan pertumbuhan ekonomi mencapai angka 6,5%. Dengan angka tersebut, Presiden Joko Widodo sempat optimis jika ke depannya, Indonesia bisa menceapai angka pertumbuhan ekonomi 7%.
Namun ternyata apa yang direncanakan tidak menyata. Pertumbuhan ekonomi kembali stagnan pada angka 5%. Dan ini mempengaruhi banyak sektor, salah satunya sektor properti.
>>> Baca Juga: Bagaimana Teknologi Telah Mengubah Industri Properti
Yang mengalami dampak paling besar dan mulai terlihat adalah menurunnya tingkat okupansi gedung perkantoran. Banyak Gedung perkantoran di Ibu kota yang mengalami penurunan harga sewa karena mulai ditinggalkan para penyewa. Mengutip dari Detik Finance, kondisi yang cukup buruk terjadi di area CBD Jakarta. Lembaga konsultan properti, Savills mencatat pada semester I total pasokan mencapai 270 ribu m2. Sementara penyerapan ruang kantor sekitar 63 ribu m2 atau hanya sekitar 1/3. Maka dari itu ada tingkat kekosongan 18,4% atau naik 2,7% dibandingkan periode sebelumnya.
Ini membuat harga sewa juga mengalami penurunan yang parah. Mengutip riset Jones Lang LaSalle (JLL), harga lahan perkantoran untuk grade A berada di kisaran Rp 350 ribu per meter persegi per bulan. Sedangkan grade premium berada di kisaran Rp450 ribu per meter persegi. Harga sewa untuk grade premium tersebut turun sebesar 1,6% dari sebelumnya.
Hal ini cukup menyedihkan karena mengingat besarnya backlog hunian di Indonesia yang pada tahun 2015 lalu mencapai angka 7,6 juta, sedangkan di sisi lain, gedung perkantoran mengalami kelebihan dari jumlah permintaan yang ada. Sayangnya supply yang banyak ini tidak dapat membantu mengurangi jumlah backlog yang ada karena gedung perkantoran tidak dapat diubah fungsi menjadi hunian. (AI)